Bagian 2 Dejà vu
Pov Nirmala Suci
Setiap ada pria yang berusaha mendekatiku, aku cari, apa ada kemiripan dengan sosok pria halal yang selalu hadir dalam mimpiku, bahkan kuingat- ingat wajah teman- teman semasa TK, SD, MTs atau MA, guru baru yang perkiraan umurnya tidak terlalu jauh denganku, kakaknya temen- temenku, bahkan dokter ganteng yang setia merawat keluargaku pun tak luput dari perhatianku. Dan hasilnya.. nihil.
Hingga satu waktu, pada saat moment saling memaafkan, sebagai ikhtiar sebelum ujian nasional, salah seorang Ustadz melihat buku agenda yang tertempel fotoku, beliau berkata: ”Foto yang manis, sabar ya.. jodohmu jauh!”
“What’s!” pekikku dalam hati, masa sih.. apa karena itu, aku cari- cari siapa dia, belum pernah ketemu. Hu hu hu.. sedihnya diriku, eh tapi maksud jauh tu apa ya, lama dapat jodoh, atau dia berasal dari planet yang jauh.
Halah.. planet lain, kota lain paling juga Aku mewek gak kuaaaat jauhan hu hu hu…… Tak urung pernyataan sang Ustadz mempengaruhi suasana hati ini, mana ujian tinggal selangkah lagi, duuhhhh konsentrasi kemanakah dikau..
Kemana materi pelajaran, yang sudah Aku pelajari selama tiga tahun ini, kenapa dia gak betah banget tinggal di kepalaku. Ujian hari pertama sukses, hilang semua materi, pusing kepala semakin menjadi- jadi, belum lagi perut semakin menghebat nyerinya tanda stress sudah menjalar ke sekujur tubuhku. Kuatkan aku Yaa Allah duuh aduuuh…..
Usai ujian hari kedua, kondisi kesehatanku semakin payah, Aku demam, suhu tubuhku meninggi, makanan pun enggan menghampiri, seakan semua ingin menyerang kerongkonganku dengan duri- duri yang menusuk sampai ke perut, duuh sakitnya.
Aku pasrah, ujian tinggal sehari, kan kukerjakan seperti tanganku ingin mengerjakan, otak terasa beku, karena rasa sakit di kepala yang semakin parah. Saat soal sudah dibagikan, Aku benar- benar sudah tidak kuat, kutulis namaku dan Aku pun tertidur di kelas. Guru pengawas yang berasal dari sekolah lain pun bingung, ada siswa yang tidur di tengah ujian nasional berlangsung,
Namun teman- teman sekelasku mengatakan bahwa Aku sakit dari hari pertama, dan tetap ingin mengikuti ujian ini. Baiknya sang guru pun memaklumi, tiga puluh menit sebelum waktu ujian berakhir, kumampu menegakkan kepala, menjawab soal demi soal semampuku, tak kan kubiarkan nyeri kepala menjadi semakin dahsyat, gegara memikirkan soal- soal ujian. Pasrah.. berserah.. Aku hanya ingin sehat, biarlah hasilnya kuserahkan sepenuhnya kepada Tuhan, Rabb semesta alam.
Hari pengumuman kelulusan
Dengan langkah gontai, kuterima ajakan Hannah, untuk melihat pengumuman kelulusan di depan ruang olah raga, mengingat selama masa ujian, tubuh ini sedang tidak dapat diajak kompromi, untuk mendapat hasil maksimum. Subhanallah.. ini bener nilaiku, kuteliti sekali lagi iya benar, rata- rataku 8,32.. kupikir tidak terlalu buruk. Yahh setidaknya untuk ukuranku, yang bahkan bisa berhasil mengikuti ujian aja, sudah sangat bersyukur.
Riuh suara para sahabat, ada yang berteriak kegirangan, juga ada yang menjerit menumpahlan rasa sesal dan kecewanya karena banyak yang merasa baik tidaknya fase hidup selanjutnya berawal dari nilai ini. Ragam tumpahan rasa selalu.. dan selalu mewarnai di setiap pengumuman kelulusan.
Rencana mengukir prestasi di jenjang yang lebih tinggi, pasti menjadi dambaan setiap siswa yang telah dinyatakan lulus dari jenjang SMA. Aku? Tentu saja, tapi sembilu yang tergores akibat kesibukan sang Mama saat bekerja, tetiba menerpa. Dan siang itu Aku bertekad, kan sungguh- sungguh dalam menerima ilmu dengan bidang yang tetap bisa membuatku berkarya di rumah, tanpa meninggalkan tumbuh kembang anak- anakku kelak, Aku hanya ingin selalu ada buat mereka.
Itulah pemikiran kontradiktifku dalam hal konsep mendidik anak dan keluarga, amat berbeda dengan yang aku terima. Bukankah itu yang akan Allah mintai pertanggung- jawabannya, di akhirat kelak.
Ku mulai berhitung, kendaraan apa yang kan menjadi wasilahku dalam menjemput rezeki. Apa yang paling kusuka, kegiatan apa yang paling bikin Aku happy, yang rasanya selalu tertinggal disini, yang suasananya memunculkan sisi baikku, yang awet bikin moodku tetap baik. Kupikirkan betul- betul hal ini, Aku benar- benar gak pengen salah langkah, Aku gak pengen selingkuh dengan almamaterku, hanya gegara jurusan kuliah yang tak sejalan dengan pilihan karier yang kubuat, Aku cuma pengen menghargai passionku, sehingga Aku bisa lebih profesional saat menghadirkan hasil pekerjaan kelak.
Karena kutau bekerja sesuai passion itu membahagiakan, ya karena bahagia itu pilihanku. Bukankah negara yang baik, bila rakyatnya bahagia. Negara dikatakan baik juga, bila memiliki produktivitas Sumber Daya Manusia yang tinggi. Aarghh urusan ini ternyata bisa melebar kemana- mana ya, siapa yang kira- kira dapat membantuku menemukan jawaban ini.. aargh… sholat aja lah, harap- harap kiranya Allah berkenan beri aku petunjuk.
Lelahku berfikir ditambah angin sepoi- sepoi di teras masjid, membuat kantukku datang. Akupun tertidur menelungkup masih dengan mukena lengkap yang menempel. Hingga terbangun, dengan teriakan Hannah dan Dhea yang memanggil.
“Suci…. pelor banget siii kamuuu…. gak dimana, nemu bantal atau ngga, tidur mulu kerjaannye!”
Gelagapan ku dibuatnya, yaahhh mimpi indahku pergi deh, sambil melotot dan memonyongkan bibir, “Napa sii demen banget ganggu proses terima wangsit gue?”
Gantian kedua temanku yang melongo, “Wangsit? Kesambet Lo?”
Senyum- senyum ku dibuat lihat tampang mereka, asli jelek banget. “Ish.. paan si!”
“Udah ganti baju yook, jalan- jalan sore lah, mumpung jam bebas nie!”
Rampung Ujian Nasional, kami memang mendapat jatah libur tiga hari, yah untuk merefresh pikiran yang abis tegang syuperrr.
“Kemana?” tanyaku ogah- ogahan, mager beudd.
“Shopping, boleh, cuci mata juga boleh.” Jawab Dhea asal.
“Anter gue, ambil brosur bimbel deket stasiun, pliss..” Mohon Hannah.
“What’s?? Jauh banget itu mah.”
“Yaahh, di kota kecil gini, jauh juga cuma dua puluh menit nyampe.” Elak Hannah.
“Ayolah pliss.. pliss.” Memelas wajah Hannah. Aku dan Dhea saling berpandangan dan mengendikkan bahu bersamaan. “Oke deh.. pempek tapi ya..!”
“Hmmhhh maunya!” manyun Hannah.
Sore yang indah, seindah liur kami bertiga yang membayangkan cuko pempek nan sedap terguyur lepek pada pempek adaan dan lenjer, yang ditambah dengan hijau pucat, potongan cube mentimun segar, seakan menjadi booster atas ayunan langkah kami.
Seketika langkah kami harus terhenti, karena Dhea kebelet pipis.
“Pren.., tunggu bentar yaa, kebelet nih.” Hmmmfh untung belum naik kendaraan, jadi masih gampang, karena banyak tersebar toilet di lingkungan sekolah kami. Sambil menanti Dhea ke toilet yang terletak di belakang gardu satpam, netraku terpaku kepada sesosok pria yang rasanya sangat kukenal, hidungnya, dahinya, tubuhnya, rambutnya, diamnya, senyumnya.
Deg jantungku serasa berlompatan tak karuan, Yaa Allah.. Aku lihat makhluk ini dimana ya, otakku berputar- putar mencari sinyal informasi mengenai sosok pria ini. Rasanya begitu dekat, kupertajam netraku, memastikan siapa pemilik raga itu.
Aah Aku ingat.. ya dialah yang selalu hadir dalam mimpi indahku.
Dan ternyata dia teman seangkatanku, bernama Wicak, Wicaksana Jagabumi, yang bahkan kami sering kerja bersama di bidang jurnalistik. Segudang tanya dalam batinku, kok dia? Kenapa justru dia? Mengapa Aku baru mengetahuinya sekarang? Padahal kami sudah sering bersama? Yaa Allah, bagaimana jika memang dia yang akan menjadi pria halalku. Duuhh Gusti, pingin nolak, masa iya nolak taqdir. Aah biar flow with the wind aja lah. Kuyakinkan diriku, bila memang dia orangnya, pasti mudah jalannya, pasti buat Aku lebih termotivasi untuk semakin dekat kepada-Mu Yaa Allah… Bismillah..
“Suci.. ngapa si ngelamun mulu dari tadi, gak enak tau, kek jalan ma patung aja!” kata Hannah membuyarkan lamunanku.
“Iya napa si, dari tadi diem diem bae..” Dhea menimpali.
“Sorry friends….” Kupasang wajah semelas mungkin, biar gak keliatan apa yang berkecamuk dalam hatiku.
Pempek yang biasanya sekejap langsung tandas, kali ini rasa sangat sulit masuk ke kerongkongan. Jangan aja, teman- teman pergoki kediamanku kembali. Walau sungguh hati masih sangat sulit menerima.
Masih di masjid selepas sholat Isya, kegiatan kami setelah Ujian Nasional memang tidak banyak, santuiiii brooo. Sholat sudah, tadarus sudah, masa’ belajar, ih belajar kok masa’. Belum berkenan hati ini… padahal tahu, dua bulan lagi ujian masuk perguruan tinggi. Terus terang, bayangan Wicak belum mau beranjak dari pikiranku, terus menari- nari, bagai scene demi scene film kehidupanku. Mulai pertama mimpi indah hadir, hingga mimpi keempat dan memandangnya sore tadi. Sungguh teramat gelisah hati ini, rasa penasaran siapa dia, mulai terkuak satu per satu.
Tak terasa netraku menangkap siluet di arah jam dua dari tempatku duduk. Jantungku berdetak lebih cepat, terlampau cepat malah. Seakan melompat- lompat tak beraturan. Kutarik nafas dalam- dalam… tenang Suci… tenang.. suara hatiku memerintah. Kuikuti saja apa kata hatiku, sambil tak melepas pandanganku kepadanya, walau sekejap saja. Bukan ku sengaja untuk berzina mata, namun Aku harus betul- betul memastikan, apakah benar dia orang yang Allah tunjukkan dalam mimpiku. Semakin kuawasi setiap geraknya, gestur tubuhnya seakan menyapa hatiku, bahwa memang benar Wicaklah orangnya.
Duuh gusti, apa Aku siap, apa yang akan kulakukan setelah ini, bagaimana Aku bisa berhadapan dengannya, bila di kemudian hari nanti kami bertatap muka. Tenang.. tenang, toh hanya Aku yang tau, dia… mungkin terfikir juga ngga, dibuat biasa aja Suci… Lagian sekarang udah gak kerja bareng ini. Dewi batinku berusaha menenangkan kecamuknya hatiku.
Ih masa gitu sih, kalo emang petunjuk yang datang dari Allah, pasti Allah juga yang akan menggiring hatinya untukku, dan pasti Allah pula yang menyiapkan dan menetramkan hati ini. Tetiba teringat akan sebuah surat dari Wicak, inginnya tuk memanggilku Mala. Sekejap perasaan malu, malu yang teramat sangat kepada Yang Maha Hidup datang menerpa. Astaghfirullahal ‘adziem, kenapa rasa penasaran yang begitu menggelora, yang sukses pula menjadi asbab sakitku saat ujian nasional berlangsung, justru malah menutupiku dari sikap kepasrahan yang sepantasnya kukembalikan kepada-Nya. Segera kuberdiri utuk menunaikan sholat taubat, sambil kukatakan kepada diriku sendiri, stop berandai- andai, cukup serahkan saja, semua hal ini kepada-Nya.
Dinginnya udara malam ini, membuat rasa kantukku datang menerpa, ah daripada tertidur di masjid, baiknya aku segera pulang ke asrama aja lah. Saat sedang mengingat dan mencari alas kakiku, Luna, anak IPS2, menepuk bahu sambil menyerahkan sebuah amplop putih.
“Apaan nih Lun?”
“Tadi Ardean nitip ini buatmu!”
“Ardean?” mataku melotot memandang Luna penuh tanya.
Sambil mengendikkan bahu dan berlalu, Luna berkata “Mana gue ngerti, dah ah dibaca aja ya..”
“Owh.. Oke, syukran jazakillah.”
Kupercepat langkahku menuju asrama, baiklah kan kubaca di kamar saja.
Leave a Comment