Dimas adalah seorang penulis introvert yang menghabiskan hari-harinya di kafe kecil di sudut kota, menulis cerita-cerita yang tak pernah ia terbitkan. Di balik tumpukan buku dan secangkir kopi, ada satu rahasia yang menyiksa hatinya: cinta yang terpendam untuk sahabatnya, Nina. Mereka bertemu di sekolah dasar, di mana mereka menjadi sahabat tak terpisahkan. Mereka berbagi mimpi, tawa, dan bahkan air mata. Dimas selalu mengagumi Nina, tetapi ia tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya.
Hari keberangkatan Nina tiba. Dimas berdiri di depan rumahnya, menatap mobil yang siap membawa sahabatnya pergi. Dia merasa seolah-olah waktu berhenti. Ketika Nina melambaikan tangan, Dimas merasakan ada sesuatu yang hilang dari hidupnya. Dia ingin berlari dan memeluknya, tetapi kata-kata terjebak di tenggorokannya.
“Nina, jangan lupakan aku, ya?” ucap Dimas dengan senyuman yang penuh harapan, meski matanya tampak berkaca-kaca.
Nina tersenyum, tetapi ada kesedihan di matanya. “Aku tidak akan pernah melupakanmu, Dimas. Kau adalah bagian dari hidupku.”
Setelah mobil itu menghilang dari pandangannya, Dimas merasakan kesepian yang mendalam. Dia kembali ke rumah, duduk di meja tulisnya, dan mulai menulis surat pertama. Setiap malam, Dimas menulis surat untuk Nina. Dalam surat-surat itu, ia mengungkapkan semua perasaannya yang terpendam. Ia menulis tentang betapa ia merindukan tawa dan senyumnya, bagaimana hidupnya terasa kosong tanpa kehadirannya, dan betapa ia ingin mengungkapkan cinta yang selama ini terpendam.
Kepada Nina,
Setiap hari tanpa kehadiranmu terasa seperti musim dingin yang tak berujung. Aku merindukan tawa dan ceriamu, dan setiap sudut kota ini mengingatkanku padamu. Aku ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu, lebih dari sekadar sahabat. Tapi aku tidak pernah berani mengatakannya. Mungkin suatu hari, aku akan menemukan keberanian untuk mengungkapkannya. Selalu, Dimas.

Setiap surat menjadi lebih emosional, mencerminkan kerinduan dan harapan Dimas. Dia menulis tentang kenangan indah mereka, seperti saat mereka berdua berlari di bawah hujan, tertawa tanpa henti, atau saat mereka berbagi rahasia di bawah bintang-bintang.
Suatu malam, Dimas duduk di meja tulisnya, dikelilingi oleh tumpukan surat yang belum dikirim. Ia merasa terjebak dalam perasaannya sendiri. Dalam keputusasaannya, ia memutuskan untuk mengirimkan satu surat terakhir kepada Nina, meskipun ia tahu bahwa itu mungkin tidak akan sampai.
“Apa gunanya menulis jika aku tidak pernah mengirimkannya? Mungkin ini saatnya untuk mengungkapkan semuanya,” pikirnya.
Beberapa bulan kemudian, Dimas menerima kabar bahwa Nina akan kembali ke kota untuk mengunjungi keluarganya. Jantungnya berdebar-debar saat ia mempersiapkan diri untuk bertemu kembali. Ketika mereka bertemu, suasana terasa canggung, tetapi ada kehangatan yang tak bisa dipungkiri.
“Dimas! Aku sangat merindukanmu! Bagaimana kabarmu?” tanya Nina dengan senyum lebar.
“Aku juga merindukanmu, Nina. Banyak yang ingin aku ceritakan,” jawab Dimas, meski hatinya bergetar.

Mereka berbicara tentang kehidupan masing-masing, tetapi Dimas merasa ada sesuatu yang belum terucapkan. Dia ingin mengungkapkan perasaannya, tetapi kata-kata itu terasa berat. Dalam pertemuan itu, Dimas akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Ia memberikan surat-surat yang telah ia tulis, menjelaskan betapa pentingnya Nina dalam hidupnya. Nina terkejut dan terharu membaca surat-surat itu.
“Aku tidak pernah berani mengatakannya, tetapi aku mencintaimu, Nina. Selama ini, aku hanya bisa menulisnya di surat-surat ini,” ungkap Dimas dengan suara bergetar.
“Dimas, aku tidak tahu. Aku juga merasakan hal yang sama, tetapi aku tidak pernah berani mengatakannya,” jawab Nina, air mata mengalir di pipinya.
Mereka berdua terdiam sejenak, merasakan beratnya pengakuan itu. Dimas melihat air mata di mata Nina, dan hatinya bergetar. Dia tahu bahwa ini adalah momen yang telah lama ditunggu-tunggu.
Setelah pertemuan itu, Dimas dan Nina mulai menjalin hubungan yang lebih dalam. Mereka saling mendukung dan berbagi impian, dan cinta yang terpendam selama bertahun-tahun akhirnya terungkap. Dimas menyadari bahwa menulis surat-surat itu bukan hanya tentang mengungkapkan perasaan, tetapi juga tentang menemukan keberanian untuk mencintai.

Dimas dan Nina berdiri di tepi danau, di bawah cahaya bulan yang memantulkan sinar lembut di permukaan air. Angin malam berbisik lembut, seolah-olah merayakan momen mereka. Dimas menatap Nina, melihat kilau harapan di matanya, dan merasakan jantungnya berdegup kencang.
“Setiap surat yang kutulis adalah bagian dari perjalanan kita,” kata Dimas, suaranya bergetar. “Mungkin kita tidak mengirimkannya, tetapi mereka mengajarkan kita untuk berani mencintai.”
Nina tersenyum, mengangguk. “Cinta tidak selalu tentang kata-kata yang terucap, tetapi tentang perasaan yang kita bagi. Kita telah menemukan cara untuk saling memahami, meski terpisah oleh jarak.”
Mereka berpegangan tangan, merasakan kehangatan satu sama lain, dan tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Dengan setiap langkah ke depan, mereka berkomitmen untuk saling mendukung, mengatasi rintangan, dan merayakan cinta yang telah tumbuh di antara mereka.
Cinta sejati tidak selalu membutuhkan pengakuan yang langsung. Terkadang, cinta terletak dalam tindakan, pengorbanan, dan keberanian untuk mengungkapkan perasaan. Menulis surat-surat yang tidak pernah dikirimkan mengajarkan kita bahwa meskipun kita tidak selalu bisa mengungkapkan cinta kita secara langsung, perasaan itu tetap ada dan dapat membentuk hubungan yang kuat. Jangan takut untuk mencintai dan berbagi perasaan, karena setiap langkah kecil menuju kejujuran dapat membuka jalan bagi kebahagiaan yang lebih besar.
Leave a Comment